
sumber gambar: disini
Dalam
perjalanan akhir menuju M.Pd, saya harus melewati sidang tesis yang terdiri
dari 3 tahapan. Yang pertama seminar proposal, lalu sidang tahap I dan terakhir
sidang tahap II. Saya memiliki 4 penguji untuk setiap sidangnya. Hari itu saya dijadwalkan sidang tahap II dengan Bapak sebagai pengujinya.
Karena kesibukan pada dosen penguji yang berbeda-beda, maka sidangpun dilakukan
satu-persatu dengan metode face to
face.
Sebelumnya saya
cukup deg-degan. Tapi berbekal revisi yang sudah di acc pada sidang tahap I, saya
mencoba menenangkan diri. Alhamdulillah, untuk sesi sidang tahap II dengan
Bapak lumayan lancar. Tidak serumit yang saya bayangkan. Ternyata memang benar,
kadang pikiran kita sendiri lah yang menjadi musuh terbesar diri kita. Di
akhir sidang, Bapak memberikan beberapa wejangan kepada saya. Dengan raut wajah
khas kebapakan, Bapak bertanya, “apa rencana akademismu selanjutnya?”
Saya menjawab
bahwa untuk sementara ini saya ingin kembali ke rumah. Mungkin juga mencicipi
beberapa peran yang belum pernah saya lakoni. Jika saya sudah matang
di lapangan, tidak menutup kemungkinan saya ingin menjajal peruntungan untuk
mengejar Ph.D. Tapi jika diberi kesempatan lain, saya juga ingin mengabdi di
belahan bumi Indonesia lainnya.
Kemudian
Bapak menyambung, “Dimana pun kamu mengabdi nanti, yang paling penting kamu
harus membagikan ilmu yang telah kamu dapat dari sini. Jangan hanya kamu simpan
sendiri, itu yang namanya kesombongan intelektual. Karena ilmu itu ada bukan
untuk disombongkan, tapi untuk dibermanfaatkan bagi sesama.”
Bapak pun kembali melanjutkan, "Tapi yang
paling penting dari itu semua, setelah ini kamu harus pulang dan temui orang
tua kamu. Ucapkan terima kasih kepada mereka. Karena jasa mereka, kamu berkesempatan
untuk bisa belajar disini. Semua yang kamu dapat hingga pada titik ini, semua karena ridho dan doa-doa mereka.”
Saat Bapak
berbicara mengenai orangtua, seketika saya langsung terenyuh.
Saya
langsung teringat kembali apa tujuan utama saya disini. Apa misi yang saya bawa
hingga saya bisa berlari sejauh ini. Saya kembali teringat ibu dan alm. Ayah.
Ibu. Mungkin
orang yang paling menunggu kedatangan saya untuk pulang. Untuk kembali
berkumpul pada hangatnya keluarga kecil kami. Ibu yang dalam doa-doanya selalu
menyebutkan nama saya hingga Tuhan selalu berbelas kasih kepada kehidupan saya.
Ibu. Orang pertama yang kelak akan saya ucapkan terima kasih. Untuk segala pengorbanan hingga saya bisa berlari sejauh ini. Ibu. Orang yang mengajarkan saya bahwa perempuan harus berdaya.
Ibu. Orang pertama yang kelak akan saya ucapkan terima kasih. Untuk segala pengorbanan hingga saya bisa berlari sejauh ini. Ibu. Orang yang mengajarkan saya bahwa perempuan harus berdaya.
Ayah.
Mungkin saya hanya bisa mengenangnya. Tapi dari berbagai potongan kenangan,
saya kembali teringat kebiasaan kami sewaktu dulu. Kala itu saya—yang kira-kira
masih duduk di bangku SMP—sering kali diajak Ayah untuk berkeliling Universitas Indonesia bersama
adik menggunakan sepeda motor.
“Nanti anak
ayah sekolah disini, nih!” celetuk Ayah yang menyebut Universitas Indonesia
sebagai kampus impiannya. Saya yang kerap kali tersihir oleh kemegahan UI
pernah sesekali membayangkan diri saya merupakan bagian dari beribu mahasiswa yang
memakai jaket kuning.
“Keren !”
pikir saya waktu itu.
Saat Ayah
mengantar saya untuk tes SNMPTN, beliau pernah berkata “kita bukan dari
keluarga kaya. Ayah gak pernah nuntut anak ayah jadi orang kaya. Ayah cuma mau
anak ayah jadi anak solehah yang berilmu. Harta kalo dibagiin bisa abis. Kalo
ilmu semakin dibagiin semakin berkah.”
Seketika
pesan Bapak di sela sidang tesis saya membawa saya melayang-layang pada
ingatan-ingatan terdahulu. Membawa saya kepada kerinduan pada ibu dan melengkapi
kenangan bersama ayah. Pesan Bapak juga kembali mengingatkan saya tentang apa
tujuan saya hingga pada tahap ini.
Bahwa ini
bukan semata-mata demi gengsi ataupun hanya sebuah tambahan gelar di belakang nama
saya. Lebih dari itu. Ini merupakan salah satu misi yang hampir terselesaikan
pada babak kehidupan saya. Dan jika Tuhan meridhoi, setelah ini masih banyak
mimpi-mimpi yang masih harus dijemput dengan kerja keras dan himpunan doa
pastinya. Semoga!
Terima kasih
Bapak. Semoga Bapak selalu sehat dan selalu berkontribusi untuk dunia
Pendidikan Khusus yang lebih Baik.
8 comments
kok jadi brebes mili ya bacanya, kalau pesan yang begitu mengena kadang bikin terharu
ReplyDeleteIyah mbak tira, apalagi yg menyangkut orang tua yah mbak:")
DeleteNyes banget bacanya kak. Hem.... Kakak udah S2 aja. AKu mah, baru tamat S1 aja, ngerasa dunia ini kelam banget ngeliat skripsi mulu. Apalah tesis??? Duh...
ReplyDeleteAku kok masih bingung Bapak di cerita ini siapa ya? Penasaran. Ya, kalo udah bahas orang tua. Akupun ikut nyess kak. Sedih. Udah sebesar ini, belum bisa ngasi seusatu ke mereka. Semoga rezeki kita dilancarkan ya kak. Amin... Biar bisa membahagiakan orang tua.
Salaam Heru,
DeleteAhahaa tenang heru, semua ada tingkatannya kok. Kalo kamu udh bisa nyelesain skripsi, pasti nanti juga bisa nyelesain tesis. Baru lulus yah? Welcome to the jungle ya! :D
'Bapak' disitu dosen pembimbing saya, heru:)
Aamiin! Semoga kita bisa terus membahagiakan orang tua yaa
Anw trims heru sudah blogwalking;)
Wah senangnya ya. Orang tua juga pasti senang melihat anak bisa menggapai impiannya. Kalau orang tua saya sekarang bilang pas anaknya udah pada sekolah, lihat orang tidak melihat siapa ayah lagi, mereka bilang anak-anak ayah hebat pada sekolah. Cukuplah ayah yang cuma sampe SR :)
ReplyDeleteSetuju kang phadli, setiap orang tua pasti ingin yg terbaik untuk anaknya. Termasuk jika anaknya mendapatkan pendidikan yg lebih baik dr mereka ya:")
Deleteceritanya bikin sedih apalagi soal membahas kedua orang tua.
ReplyDeleteSemoga ilmu S2 yang mbak rafiatul miliki saat ini bisa memberi manfaat utk orang lain ya mbak :)
Salaam robby,
DeleteAamiin! Terima kasih atas doa-doa baiknya, semoga doa-doa baik itu juga berpulang kepada kamu yaa:)
Terima kasoh robby, sudah blog walking:D