Seekor kupu-kupu bersayap perak keemasan terbang
mengelilingi pohon-pohon bunga berdahan rendah yang berjajar rapih di depan
kelas. Di beranda kelas, sekumpulan anak perempuan bernyanyi kidung ceria
sambil berlompat-lompat. Sedangkan sekumpulan anak laki-laki bekejar-kejaran
dari kelas ke kelas, berteriak-teriak, dan saling menarik baju satu sama lain
sambil tertawa-tawa. Keringat menerabas ke luar baju mereka. Basah. Riuh.
Dua anak laki-laki menggamit telapak tangan saya, seraya berkata, “bu belajarnya abis istirahat aja, yah!”
Dua anak laki-laki menggamit telapak tangan saya, seraya berkata, “bu belajarnya abis istirahat aja, yah!”
Hari itu merupakan hari terakhir. Sudah jauh
hari saya memberitahu mereka jika hari itu merupakan hari terakhir kami belajar
bersama. Setelah selesai belajar membaca, anak laki-laki yang perawakannya lebih
besar bertanya kepada saya, “ibu, besok kita gak belajar lagi?”
“iya, engga.”
“yah, kenapa bu?” anak laki-laki yang lebih
kecil menimpali.
“karena penelitian ibu sudah selesai, abis
ini ibu mesti nulis laporan. Mungkin nanti ibu kesini lagi, terus kita bisa
belajar lagi.” jawab saya sekenanya.
“kapan?”
“mungkin bulan juni.”
“Yahhh!” sergap mereka serempak menelan
kekecewaan.
Bagi saya, salah satu hal yang menyebalkan dari
pertemuan adalah ia selalu bersaudara dengan perpisahan. Saya harus berpisah
dengan dua anak yang beberapa minggu kebelakang selalu saya pantau kondisinya.
Terutama kondisi membaca mereka. Mereka merupakan subyek riset saya pada ranah
membaca permulaan.
Saya benci harus mengucapkan selamat tinggal
pada suatu keadaan yang telah membuat saya nyaman. Saya nyaman setiap seminggu 3-4
kali rutin mengunjungi mereka di sekolah untuk membimbing mereka belajar
membaca. Namun setelah itu, selalu ada hal ‘terakhir’ setelah melewati hal ‘pertama’.
Seperti saat itu, hari terakhir kami belajar bersama.
Di akhir percakapan saya meminta mereka
menceritakan cita-cita mereka,
Si anak yang lebih besar berujar, “ saya mau
jadi tentara, karena gak perlu baca banyak.”
Si anak yang lebih kecil berujar, “saya juga
mau jadi pemain bola, karena saya juga gak suka baca.”
Saya tergelitik dengan pernyataan mereka. Ya
walaupun riset saya telah selesai, dan terbukti kemampuan membaca permulaan
mereka berkembang jauh lebih baik dibandingkan sebelum saya berikan intervensi
membaca, namun nyatanya membaca masih menjadi momok menyebalkan dalam hidup
mereka.
Setelah itu kami bercakap-cakap. Hanya kami
bertiga. Bercerita banyak hal. Saya sedang tidak ingin memberikan nasehat berupa
petuah bijak khas orang dewasa. Saya hanya ingin banyak mendengarkan mereka.
Mendengarkan apa yang mereka rasakan. Mendengarkan segala keresahan-keresahan
hidup dalam perspektif anak-anak laki-laki berusia 9 tahun. Hanya itu.
Kami tertawa bersama-sama, mendengar cerita
si anak laki-laki yang lebih besar saat tersesat di sebuah pasar malam. Kala
itu, si anak laki-laki begitu takjub dengan permainan komidi putar. Dia pun
memperhatikannya lamat-lamat. Hingga dia tersadar bahwa ayahnya sudah tidak ada
di sisinya. Frustasi mencari ayahnya yang tidak ketemu, akhirnya dia mencari
cara agar segera bertemu ayahnya.
Dia mendapatkan sebuah ide agar segera
bertemu dengan ayahnya. Akhirnya ia memutuskan untuk membuat kegaduhan dengan
menangis sekencang-kencangnya. Dalam hitungan detik orang-orang pun telah bergumul
di depannya. Begitupun dengan ayahnya yang langsung menemukannya. Sialnya, anak
laki-laki itu malah kena semprot marah sang ayah sepulang dari pasar malam. Katanya
lagi, “sanes dapet gulali, malah kena
omel ku bapa!”* Membayangkan ekspresi memelas anak laki-laki itu, kami
hanya bisa tertawa terpingkal-pingkal melihatnya.
Tak hanya gelak tawa, kami pun berbagi kesedihan.
Si anak laki-laki yang lebih kecil bercerita jika ibunya telah kembali ke Batam
untuk bekerja. Alhasil dia harus tinggal di rumah hanya bersama nenek dan
kakak-kakaknya. Beberapa waktu lalu ia dan keluarganya sempat mengantar sang
ibu ke bandara. Ada raut kehilangan mendalam di wajahnya. Seakan ia ingin
berujar, ‘ibu, kapan kembali pulang?’
Satu hal yang pasti, bahwa saya mendapatkan
banyak hal dari riset yang saya lakukan berbulan-bulan kebelakang. Bukan hanya
sebuah data tentang analisis membaca permulaan siswa dengan kesulitan membaca
di salah satu sekolah dasar di Kota Bandung. Tapi lebih dari itu. Saya kini
menjadi lebih kaya. Dari pengalaman-pengalaman hidup anak-anak ini, dari
celoteh-celoteh polos mereka, dari gurauan-gurauan khas anak-anak, dan dari
kesedihan yang tidak dapat mereka tutupi. Mereka memang tak pandai bersandiwara.
Saya membimbing mereka belajar membaca, tapi mereka memberikan saya gambaran
lain tentang hidup. Terima kasih, Nak!
Untuk kedua
anakku, semoga kelak kalian memahami, bahwa hidup tidak sesederhana saat kalian
belajar membaca. Seperti saat kalian mengujarkan kata yang salah, ibu akan
memberitahu. Atau saat kalian mengujarkan kata yang benar, ibu akan memberikan reward.
Hidup tidak sesederhana itu, Nak.
4 comments
subbahanallahh..
ReplyDeleteceritanya sangat bagus dan menginspirasi :)
Salaam robby,
DeleteTerima kasih sudah blog walking:)
saya mengasuh anak-anak di komunitas aku punya, banyak anak yang gak tertarik membaca. aku jadi berusaha agar mereka suka membaca, dan itu memang sulit
ReplyDeleteSalaam mbak tira,
DeleteMembaca memang masih menjadi momok menakutkan bagi sebagian anak, terutama anak2 dengan kesulitan membaca. Semoga selalu lancar yah mbak kegiatannya :)