Dengan segala apa yang terjadi di hidup kita, Tuhan selalu memiliki rencana.
Termasuk pertemuanku
dengan anak-anak ini. Awalnya aku hanya sekedar iseng untuk memberikan les
tambahan kepada mereka. Awalnya aku ingin menambah pemasukanku untuk biaya
riset tesis. Awalnya aku ingin mencari celah dari kesibukanku yang kerap kali
membuat stress dan awalnya aku hanya ingin
melampiaskan kerinduanku untuk mengajar.
Namun ternyata
segala niat awal itu luluh ketika aku meminta mereka menceritakan diri mereka
masing-masing pada pembelajaran pertama kala itu. 6 anak hadir untuk belajar
dan tema kami kala itu adalah keluarga. Satu per satu anak, kuminta untuk
bercerita tentang keluarganya.
Anak-anak
ini menceritakan bagaimana kondisi keluarga mereka, tinggal dimana, pekerjaan
orang tua mereka apa, dll. Aku baru menyadari bahwa rata-rata dari anak-anak
ini berasal dari anak-anak dengan low-cost
family. Aku pun berpikir ulang, jikalau mereka mampu membayar uang les,
mengapa mereka tidak ikut saja pada lembaga-lembaga les yang lebih bonafit? Tentunya
karena terlalu mahal. Aku merenung, bagaimana mungkin aku dapat mengambil
keuntungan dari mereka yang hidupnya pas-pasan?
Beberapa anak
tersedu-sedan saat menceritakan tentang keluarga mereka. Sebut saja dia A. aku
melihat kerinduan sosok ayah dari matanya. Perasaannya sangat halus. Saat melihat
A, aku seperti bercermin. Ya, aku juga merindukan ayahku. Namun bedanya, aku sempat
diberikan waktu selama 23 tahun oleh Tuhan untuk mencecap kasih sayang seorang
ayah. Sedangkan A, di usianya yang baru berumur 9 tahun dia harus kehilangan
sosok ayah.
Adalagi B
yang tak kuasa menahan haru saat menceritakan adiknya yang telah tiada. B
betul-betul menyayangi adiknya. Ia menangis hingga sesegukkan kala mengingat
adiknya. Aku melihat air matanya, tulus. Sedangkan C dengan nada mantap menceritakan
pekerjaan ayahnya sebagai tukang jajanan anak. Tidak ada raut muka menyesal
ataupun malu. Dia bangga pada ayahnya. Bangga sekali.
Ah,
anak-anak ini.
Antusiasme mereka
dalam belajar sangat tinggi. Mereka sangat bersemangat. Walaupun sering kali
berceloteh tanpa henti khas anak-anak. Dari mata-mata mereka aku melihat cahaya
yang menyala-nyala. Anak-anak yang tak pernah gentar dengan apapun keadaan
mereka, dengan segala keterbatasan mereka. Mimpi-mimpi mereka bagaikan pelecut
untuk terus bersemangat dalam belajar.
Lalu aku
kembali bertanya ke dalam diriku sendiri, pantaskah aku masih mengambil
keuntungan dari mereka?
Setelah
berpikir panjang, aku memutuskan untuk menggratiskan les itu. Masalah biaya
tesisku yang membengkak, biarkan Tuhan bekerja dengan caraNya. Aku selalu
teringat perkataan salah seorang sahabatku, “jika kita menolong sesama, Tuhan
pasti akan menolong kita.”
Kunamai ini
dengan Rumah Hati. Entah mengapa aku hanya merasa nyaman saat
mendengar nama itu. Kini pembelajaran kami telah berlangsung sekitar 2 bulan, dengan
jumlah keseluruhan anak didik mencapai 9 anak. Tempat pembelajaran kami masih
berpindah-pindah di sekitar kampusku. Kadang di taman, kadang di pelataran
mesjid, dll.
Kamu percaya dengan teori memberi dan menerima?
Aku telah
menerima berbagai kebaikan dan kesempatan yang diberikan Tuhan di dalam
hidupku. Kesempatan untuk belajar, kesempatan untuk menuntut ilmu, dan
kesempatan untuk melihat dunia melalui berbagai macam perspektif orang lain. Untuk
itu, mungkin ini adalah salah satu jalan untukku memberikan apa yang aku bisa. Apa
yang aku mampu.
Belum
hal-hal yang bermakna besar. Belum sama sekali.
Ini hanyalah
sebuah langkah kecil, tetapi semoga langkah-langkah kecil ini dapat menuntunku
pada jalan-jalan terang dengan pendaran cahaya. Bersama kalian anak-anak bercahaya,
di Rumah Hati.
dear kiddos, apapun yang terjadi nanti tetaplah percaya pada mimpi-mimpimu. Karena mimpi-mimpilah yang terus menghidupkan orang-orang seperti kita. With love, teteh chia.
2 comments
Rumah hati.. Ataupun rumah rindu.. Semoga mereka selalu diberi kebahagiaan yah.. Hibur mereka :)
ReplyDeleteSalaam dian,
DeleteAamiin terima kasih atas doa baiknya :)