Setiap bulannya,
secara khusus saya memang mengalokasikan dana untuk membeli buku. Namun bulan-bulan
terakhir ini kondisi keuangan saya sedang sangat tidak bersahabat. Padahal banyak
buku yang ingin segera saya miliki.
Tapi sepertinya semesta sedang berbaik hati. Saya dipertemukan dengan seorang kawan yang memiliki buku-buku incaran. Tanpa rasa malu dan sedikit tak tahu diri, sayamerampok meminjam beberapa
buku kawan saya tersebut. Dan dia dengan berbaik hati mau meminjamkannya. Semesta,
terima kasih atas konspirasinya!
Tapi sepertinya semesta sedang berbaik hati. Saya dipertemukan dengan seorang kawan yang memiliki buku-buku incaran. Tanpa rasa malu dan sedikit tak tahu diri, saya
Dari
beberapa buku yang saya pinjam, buku pertama yang saya baca adalah ‘Cinta Tak
Pernah Tepat Waktu’ karya Puthut EA. Konon ini merupakan buku pertama Puthut
yang berbentuk novel, setelah sebelumnya ia memang dikenal sebagai penulis
dengan spesialis cerita pendek.
Saya tidak
akan menceritakan tentang review novel
tersebut, namun ada salah satu bagian dari novel tersebut yang entah mengapa membuat
saya tertegun saat membacanya. Saya tercenung cukup lama. Mendalami baris demi
baris cerita yang ditulis Puthut. Pada bagian itu, Puthut menjelaskan bahwa kenangan dan kesedihan itu bagai dua saudara
yang dia tidak tahu sampai detik ini, yang manakah lebih tua, dan manakah yang
lebih muda.
Artinya, kenangan
dan kesedihan seperti ditakdirkan memiliki hubungan yang begitu lekat. Lantas bagaimana
dengan kebahagiaan?
Awalnya saya
berpikir bahwa kenangan juga berkaitan erat dengan kebahagiaan. Toh, kita dapat
berbahagia saat mengenang hal-hal yang bersifat suka cita, kan? Meletupkan
segala rasa bahagia yang membuncah di dalam dada dan terkadang memohon Tuhan
untuk mengembalikan kita pada masa itu lagi.
Namun ada
satu hal yang luput dari perkiraan saya. Bahwa ternyata beberapa kebahagiaan
perlu diingatkan, sedangkan kesedihan tak memerlukan pengingat apapun. Namun
saat kesedihan itu hadir, ia dapat memporak-porandakan kehidupan seseorang.
Mengapa seseorang perlu diingatkan untuk berbahagia dibanding
harus melupakan kesedihannya?
Karena
ternyata kesedihan memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap hidup kita. Seperti kita
yang lebih sering mengabadikan berbagai momen bahagia dengan memotretnya. Lalu menyimpannya di dalam handphone atau sekedar dibagikan di media sosial. Seperti disaat
ulang tahun, saat wisuda, saat menikah, saat bersama orang-orang yang kita
kasihi ataupun kita cintai.
Sedangkan jarang sekali kita jumpai orang-orang mengabadikan momen-momen yang berbalut kesedihan. Seperti kematian, perceraian, kecelakaan, dll. Kalaupun ada mungkin hanya beberapa.
Sedangkan jarang sekali kita jumpai orang-orang mengabadikan momen-momen yang berbalut kesedihan. Seperti kematian, perceraian, kecelakaan, dll. Kalaupun ada mungkin hanya beberapa.
Sehingga
saya pada suatu kesimpulan bahwa kesedihan memiliki efek luar biasa pada hidup
kita. Tidak perlu diingatkan, ia datang bagaikan perampok yang dapat menghanguskan
segala kenangan kita akan kebahagiaan. Saat kesedihan datang, segalanya terasa
empedu. Bahkan kita sering kali lupa akan rasa bahagia-bahagia yang telah lama
kita cecap.
Sedangkan kebahagiaan?
Ia bagaikan raja kecil yang harus selalu dilayani, dihadirkan, dan diciptakan.
Sekali lagi kita harus diingatkan tentang bahagia. Untuk menjadi bahagia. Dan
terus berbahagia.
Jarang
sekali novel yang saya baca hingga dua kali untuk menandainya. Namun novel ini
adalah sebuah pengecualian.
P.S: Untuk kamu, semoga Tuhan telah menanam di dalam tubuhmu
sebuah alarm otomatis pengingat kebahagiaan. Agar saat aku lupa mengingatkanmu,
itu tak berdampak besar. Karena kamu akan tetap berbahagia.
2 comments
ah, baru tahu nih ilmunya. sepertinya memang seperti nila ua kesedihan itu. karena nila setitik rusak kebahagiaan sebelanga hehehe ...
ReplyDeleteSalaam mbak yayu,
DeleteKira2 memang bgtu yg dpt dr pesan novel tersebut, bahwa ternyata kebahagiaan butuh diingatkan, berkebalikan dgn kesedihan:')
Terima kasih sudah blog walking, mbak :D