Karena tak
membawa payung, saya harus rela menunggu hujan melembut ketimbang kuyup
diterjang buliran air yang cukup lebat. Ada banyak hal yang seharusnya dapat
saya lakukan sambil menunggu hujan reda di pelataran teras perpustakaan. Namun
entah mengapa saya malah memilih untuk membuat tulisan ini. Mungkin menulis
blog lebih menarik perhatian saya ketimbang menulis hal-hal yang berbau ilmiah
seperti tugas beserta antek-anteknya misalnya, hhehee.
Setengah jam
terlewati, namun hujan tak kunjung reda. Dalam masa menunggu hujan reda kali
ini, ada beberapa hal yang terlintas di benak saya. Salah satunya adalah
perihal menunggu.
Saya kembali
teringat kebiasaan saya sewaktu kecil. Lebih tepatnya saat saya belum memasuki
bangku sekolah dasar. Saat itu, hal yang paling saya tunggu adalah saat
kepulangan ayah dari kantornya. Karena sebulan sekali setelah gajian, ayah selalu
membawakan sesuatu yang saya sukai, seperti boneka, coklat, atau eksrim
beraneka rasa.
Ayah memang membawakan
hal-hal yang saya sukai setiap sebulan sekali. Namun karena waktu itu saya
masih teramat kecil, sehingga saya tidak begitu memperhitungkan pola gajian
ayah saya. Alhasil setiap hari, saya selalu menunggu ia pulang dengan
sumringah. Berharap hari itu adalah hari istimewa dimana ayah saya gajian dan
membelikan sesuatu yang saya sukai.
Namun
ternyata saya harus menunggu. Menunggu 29 hari untuk mendapatkan 1 hari itu.
Tapi entah mengapa saya tidak pernah lelah menunggu dan selalu bersemangat
menunggu sore menjelang maghrib tiba. Saat itu saya memang masih kecil sekali, sehingga
saya tidak pernah memperhitungkan besar-kecil pengorbanan yang telah saya
lakukan. Jika hari itu bukanlah hari gajian ayah saya, maka saya berharap
mungkin besok, atau mungkin besoknya lagi. Ya, namanya juga anak-anak :D
Setelah saya
pikir-pikir, apa yang saya lakukan saat itu sama seperti yang apa saya lakukan saat
ini. Sama seperti apa yang kebanyakan orang lakukan; menunggu. Terlepas dari berbagai
usaha yang kita lakukan, pada akhirnya
kita selalu menunggu diselingi dengan doa-doa baik agar takdir baik selalu
melingkupi kita. Kita-orang-orang dewasa- layaknya anak kecil yang terus
menunggu sambil berharap agar doa-doa kita dijawab Tuhan. Entah dijawabNya
secara langsung, dijawabNya nanti, ataupun diganti dengan yang lebih baik.
Namun yang
membedakan kita dengan anak kecil adalah terkadang kita terlalu perhitungan
dengan segala hal. Karena telah pandai berhitung, kita menjadi sering
memperhitungkan untung-rugi maupun besar-kecilnya pengorbanan kita. Sehingga tak
jarang di dalam masa menunggu jawaban itu, kita sering dilanda kekecewaan.
Padahal ada
saatnya nanti segala apa yang kita tunggu akan menemukan jawabannya. Segala apa
yang telah kita tunggu kelak akan terbayar. Cepat atau lambat.. Ah, terkadang
saya rindu dengan masa kecil, masa dimana segala ukuran besar-kecil dan tinggi-rendah,
bukanlah patokan utama untuk mencapai bahagia. Bahkan dahulu, saya tetap
bahagia walaupun harus rela menunggu 29:1 hari untuk mendapatkan hari istimewa
saya setiap bulannya.
Hujan telah
melembut, saya pun harus segera pulang. Selamat menunggu, ya!
0 comments