Belakangan ini, saya sering terlibat diskusi menarik dengan
beberapa dosen di kampus. Alih-alih meminta bimbingan untuk proposal tesis,
tapi selalu berujung pada obrolan menarik tentang pendidikan. Khususnya tentang
pendidikan kebutuhan khusus yang memang kami geluti.
Orang-orang yang mengajak saya berdiskusi ini bukanlah
orang-orang sembarangan. Mereka merupakan para ahli dalam dunia pendidikan kebutuhan
khusus. Membicarai tentang esensi dasar pendidikan kebutuhan khusus, bagaimana
pengimplementasiannya di Indonesia, serta apa saja master plans pemerintah di dunia pendidikan kebutuhan khusus ini.
Saya pun kerap geleng-geleng kepala saat mengetahui bahwa terkadang banyak harapan
yang tidak sesuai dengan realita yang ada.
Bicara tentang implementasi, tentunya carut-marut pendidikan
di Indonesia menjadi topik utama yang selalu menarik untuk dibahas. Tentang
bagaimana pengimplementasian pendidikan inklusif yang digadang-gadang sebagai
pendidikan yang ramah untuk semua siswa termasuk siswa berkebutuhan khusus,
pro-kontra sekolah inklusif vs sekolah khusus, ataupun pemberdayaan anak-anak
berkebutuhan khusus selepas lulus dari bangku sekolah. Hanya itu saja? Tentu
saja tidak. Banyak masalah-masalah pendidikan yang hingga kini belum
terselesaikan.
Dosen-dosen yang saya kenal memiliki idealisme yang tinggi
ini, paham benar dengan apa yang terjadi dengan problematika pendidikan di
Indonesia. Terutama problematika pendidikan kebutuhan khusus di Indonesia.
Namun mereka tidak dapat merealisasikan gagasan-gagasan mereka dikarenakan
mereka hanya seorang akademisi. Bukan pembuat kebijakan yang bertengger di
kursi-kursi pemerintahan.
Pernah terlintas dalam benak saya, mengapa bukan mereka saja
yang duduk di bangku-bangku kehormatan pemerintahan. Mereka yang benar-benar
ahli. Mereka yang benar-benar tahu dimana sebenarnya letak permasalahan
pendidikan di Indonesia. Bukan orang-orang yang hanya memikirkan proyek-proyek
besar dan hanya menguntungkan perut-perut mereka.
Untuk di Indonesia, sepertinya memang faktor ‘kepentingan’
sangat amat mengakar kuat dalam sistem politik yang sudah menjadi
turun-temurun. Kepentingan keuntungan, kepentingan menjaga hubungan, kepentingan
relasi, dan masih banyak lagi kepentingan lainnya yang sepertinya sengaja diada-adakan
dalam membangun sebuah proyek dibanding dari kebermanfaatan dan esensi dari
proyek itu sendiri.
Saya memperhatikan ternyata banyak orang-orang yang ingin
mengubah itu semua. Mengubahnya menjadi lebih baik, menghancurkan tatanan lama
yang sudah bobrok, namun mereka tidak punya kuasa. Suara-suara mereka hanyalah
nada-nada sumbang yang segera berlalu. Termasuk tulisan ini, yang mungkin hanya
sampai pada beberapa pembaca saja.
Sebal? Gemas? Gerah? Ya, tentu. Ah kadang membicarakan
tentang sisi negative negeri ini
memang tiada habisnya. Namun ada yang bilang, “Dari pada terus mengutuki
kegelapan, lebih baik menyalakan lilin.” Satu lilin memang kurang bermakna,
namun seribu, satu juta, bahkan 10 juta lilin akan menyalakan bumi Indonesia
dengan cahaya.
Lalu, seberapa pentingkah dalam tetap menjaga idealisme itu?
Idealisme apapun yang kita anut selama itu mengarahkan dan
membawa kita ke dalam kebaikan akan tetap menjadi baik. Ya, saya pun masih
belajar untuk mempertahankan idealisme saya yang terkadang sering goyah oleh
terpaan badai tertentu.
Saya banyak belajar dari para dosen saya, bahwa ternyata cukup sulit dalam mempertahankan idealisme kita di tengah lingkungan yang kerap “menggoyangkan.” Namun segalanya berbalik kepada diri kita sendiri. Seberapa kuat kita berpegang teguh pada nilai-nilai yang kita anut selama ini dan seberapa nilai-nilai tersebut membawa dampak besar di kehidupan kita. Berat yah bahasanya? Hehee.
Saya banyak belajar dari para dosen saya, bahwa ternyata cukup sulit dalam mempertahankan idealisme kita di tengah lingkungan yang kerap “menggoyangkan.” Namun segalanya berbalik kepada diri kita sendiri. Seberapa kuat kita berpegang teguh pada nilai-nilai yang kita anut selama ini dan seberapa nilai-nilai tersebut membawa dampak besar di kehidupan kita. Berat yah bahasanya? Hehee.
Ada lagi yang bilang, “Saat
kamu ingin mengubah suatu tatanan, maka kamu harus berada di dalam sistem
tersebut.”
Sehingga menurut saya, yang bisa kita lakukan saat ini adalah melakukan yang terbaik di bidang kita masing-masing. Entah sekolah, kuliah, bekerja, mengajar, mengabdi, dll. Setelahnya, pasti ada perubahan positif yang melingkupi diri kita sendiri maupun lingkungan kita. Asal saat sudah dalam suatu sistem dan memiliki kuasa, mudah-mudahan engga lupa ya sama tujuan awal dan idealismenya, hehee.
Berikan yang terbaik untuk bangsa dengan idealismemu dan jadilah terang bagi sesama. Mari.
Sehingga menurut saya, yang bisa kita lakukan saat ini adalah melakukan yang terbaik di bidang kita masing-masing. Entah sekolah, kuliah, bekerja, mengajar, mengabdi, dll. Setelahnya, pasti ada perubahan positif yang melingkupi diri kita sendiri maupun lingkungan kita. Asal saat sudah dalam suatu sistem dan memiliki kuasa, mudah-mudahan engga lupa ya sama tujuan awal dan idealismenya, hehee.
Berikan yang terbaik untuk bangsa dengan idealismemu dan jadilah terang bagi sesama. Mari.
“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang
hanya dimiliki oleh pemuda” –Tan Malaka-
10 comments
Duh, bahasannya agak berat ya...
ReplyDeleteSoal kenapa bukan orang-orang yang menegerti itu saja yang duduk di sana..., rasanya yang duduk di sana itu mengerti setiap bidangnya, hanya saja terlalu banyak kepentingan lain yang saling memengaruhi sehingga jadinya tidak maksimal. Itu pemikiran saya :D
Salaam firman,
DeleteSekali-kali gpp ya ngebahas yg berat-berat hehehe :D
Betul ada beberapa yg memang sesuai bidangnya, tapi seperti pendidikan kebutuhan khusus msh sedikit yg memang benar2 di jalurnya, kebanyakan dicampur dgn pendidikan pd umumnya. Kembali lagi yah semua ttg kepentingan :")
Trims ya udh blog walking :D
Setelah sekian lama blogwalking-an, akhirnya saya dapat menemukan artikel menarik seperti ini...
ReplyDeleteJika kita mau berbicara tentang idealisme di negeri ini, kita musti sedikit membuka sejarah terlebih dahulu.. dimana sudah banyak tokoh di indonesia yang mencoba untuk bersikap idealis, dengan tujuan untuk membawa negeri ini ke arah yang lebih baik. Namun apa yang mereka terima? yang mereka terima hanyalah cacian dan hujatan bahkan mereka juga bisa terasingkan, karena mereka dianggap akan mengganggu dan membahayakan kepentingan sekelompok orang.
Dari apa yang saya ungkapkan di atas menunjukkan begitu mahalnya sikap idealisme ini. Akan selalu datang banyak godaan dan ancaman yang akan muncul, entah itu di tunjukkan kepada dirinya ataupun orang2 yang ada di sekitarnya. Maka dari kebanyakan tokoh2 yang memiliki idealisme tinggi banyak yang di asingkan ataupun mengasingkan diri.. seperti apa yang pernah di ungkapkan oleh Soe Hok Gie "Lebih baik diasingkan daripada menyerah kepada kemunafikan", mereka lebih memilih diasingkan tapi masih bisa menyuarakan pendapatnya daripada harus tunduk kepada kepentingan-kepentingan sekelompok orang.
Maka dari itu saya setuju dengan pendapat mbaknya kalau kita perlu untuk mencoba melakukan yang terbaik pada bidang kita masing-masing. kemudian berusaha merubah tatanan itu dalam lingkup kecil terlebih dulu. "Karena sesuatu yang besar itu bisa terbentuk berkat serpihan-serpihan kecil yang terkumpul"...
Kita hanya bisa berharap semoga suatu saat akan datang seorang pemimpin yang memiliki idealisme yang tinggi sehingga bisa mengubah tatanan lama yang sudah bobrok ini...
Salaam akhied,
DeleteAgak sedih dan miris yah kalo ngomongin sisi negative negeri sendiri, kaya gak ada abisnya :") Ada yg bilang, "keburukan akan terus terjadi saat orang2 baik berdiam diri." Saya yakin betul, Indonesia kaya akan org2 baik dengan idealisme yg tinggi, namun terkadang mereka tdk memiliki kesempatan untuk berbicara. Semoga perubahan dari hal2 kecil yg kita lakukan, kelak dapat mengubah keseluruhan negeri ini menjadi lebih baik :")
Hatur nuhun yah sudah blog walking :D
“Saat kamu ingin mengubah suatu tatanan, maka kamu harus berada di dalam sistem tersebut.” Bener nih, karena ketika kita mengubah suatu tatanan tanpa ada didalam sistem tersebut kita tidak akan mendapatkan hasil seperti yang kita inginkan.
ReplyDeleteSalaam zaki,
DeleteYup, dan bagi sebagian orang godaan terberat setelah berada dalam suatu sistem adalah tetap mempertahankan idealisme juga menjaga tujuan awal agar tetap 'keep on the track' :")
Btw trims yah udh blog walking :D
Wah artikel yang menarik mbak. Saya suka sekali membaca artikel yang emang agak berat kayak gini.
ReplyDeleteMemang mbak, daripada menyalahkan kegelapan lebih baik menyalakan lilin. Tapi, bagaimana kalau kita cari tahu "Kenapa kegelapan bisa terjadi? Adakah yang salah dengan kelistrikannya?" Hehehe...
Daripada sibuk menyalahkan orang lain, bagaimana jika menyalahkan diri sendiri? :)
Salaam arif,
DeleteAgak jarang sebenernya saya bikin artikel 'agak berat' begini, biasa isinya curcol mulu hehee :'))
Betul arif, selain harus action buat mengatasi masalah, mengetahui pangkal ujung masalah emang sangat diperluin. Contohnya bencana asap yg skrng terjadi, selain harus ditanggulangi bencana asapnya, hal yg paling utama adl dicari tau 'kenapa bencana asap bisa terus terjadi, bahkan lebih parah?'
Sedih yah kalo ngomongin berita sedih di indonesia :")
Btw trims arif udh blog walking :D
Jangan nanti maksudnya mau merubah sistem dengan masuk ke dalam sistem.. Biasanya ketika sudah masuk... sistem tadi yang akan merubah siapapun yang masuk kedalamnya... #nahlo
ReplyDeleteSalaam kornelius,
DeleteBetul banget, 'kebanyakan' sih gt ya. Makanya di awal judul saya bertanya kira2 msh ada tempat gak bagi para idealis si sebuah sistem yg udh mengakar kuat? Atau pertanyaan diubah yah jd 'masih adakah org idealis di sebuah sistem yg udh mengakar kuat?' hehehe :')
Trims yaa udh blog walking :D