Selamat
Datang September, selamat datang mahasiswa baru.
Melihat
wajah-wajah para mahasiswa baru yang kebingungan saat mendaftar ulang, membuat
kegelian tersendiri di hati saya. Betapa tidak, mungkin satu tahun yang lalu
saya juga seperti itu; dengan wajah yang (masih) polos dan sangat excited
karena akan memasuki dunia perkuliahan kembali. Ternyata sudah 1 tahun lamanya
saya belajar di Kota Kembang ini. Rasa-rasanya seperti baru kemarin saya
memasuki gerbang perkuliahan sebagai mahasiswa baru, tapi kini sudah mulai
dikejar-kejar deadline proposal tesis beserta antek-anteknya. Hidup yang
berjalan cepat atau saya yang terlalu santai yah?
Satu tahun
di Bandung tidak hanya memberikan saya pengetahuan dari bidang ilmu yang saya
tekuni. Namun lebih dari itu. Banyak hal-hal tak ternilai yang saya dapatkan.
Hidup mandiri jauh dari orang tua, sepertinya banyak berpengaruh pada
pembentukan mental saya. Benar sepertinya saat ada yang bilang, “Kala jauh dari
rumah, disitulah kamu akan belajar tentang hidup.” Di tanah rantauan ini, saya
pun menemukan saudara-saudara tak sedarah dengan beribu kebaikannya. Mereka
adalah saudara-saudara saya, walau kita tiada pernah terikat talian darah yang
sama sekalipun.
Saya tidak
pernah menduga sebelumnya bahwa takdir hidup saya harus jatuh pada sebuah kota
di garis Parahyangan. Takdir begitu misterius ya? Sama halnya dengan apa yang
dialami oleh salah satu teman lama saya. Teman lama saya ini tidak pernah duduk
di bangku kuliah. Namun baginya itu bukan penghalang untuk maju.
Kesulitan-kesulitan yang dihadapinya sedari kecil, telah membentuknya menjadi
pribadi yang tangguh.
Sejak duduk
di bangku sekolah, ia tidak pernah malu untuk membantu orang tuanya. Sejak
pagi-pagi buta teman saya telah membantu orang tuanya untuk membuat kue serta
menitipkannya di warung-warung dan pasar terdekat. Ia bercerita bahwa dia tidak
hanya belajar cara membuat kue. Namun lebih dari itu. Dia belajar cara
mengelola omzet dagangannya serta belajar tentang marketing untuk memasarkan
dagangannya. Dan berkat keuletannya, kini ia memiliki toko kue sendiri dengan
beberapa karyawan.
Dia
bercerita pada saya, bahwa tak pernah terpikir olehnya dapat membuat usaha
sendiri. Mengingat dia tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi. Namun jika
perasaan ragu serta rendah diri itu selalu menghantuinya, sudah barang tentu kini
dia tidak mungkin berdiri di kakinya sendiri, memiliki toko kue dengan omzet
puluhan juta rupiah per bulan, dan memetik buah dari hasil kerja kerasnya
selama ini.
Saya kini
memahami, bahwa takdir memang rahasia terbesar dalam hidup manusia. Tidak ada hitungan
pasti akannya. Walau kita sudah menghitung secara yakin, kadang takdir bisa
meleset jauh dari perkiraan kita. Terkadang juga takdir kerap bermain-main.
Melempar kita dari hal-hal yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Dan kita
tidak akan pernah tau alur takdir kita selanjutnya kan?
Tapi bagi
saya disitulah seninya. Saya tidak dapat membayangkan jika kita sudah
mengetahui terlebih dahulu takdir kita seperti apa. Pastinya tidak ada doa-doa
terbaik. Tidak ada harapan, pun dengan cita-cita. Takdir terkadang membawa kita
pada hal-hal yang melampaui logika dasar kita. Menembus batas-batas paradigma
standar diri kita. Ya itulah takdir.
Hingga saya
sadari bahwa kemisteriusan takdir lah yang membawa banyak mimpi-mimpi yang
awalnya berbentuk ketidakmungkinan, menjadi kenyataan yang siap untuk
ditinggali. Siapa yang berkuasa menahan takdir baik utuk segala usaha maksimal
setiap manusia? Tuhan pun pasti memberikan takdir yang baik untuk setiap usaha,
keringat, air mata, serta doa terbaik setiap hambaNya.
Mari menari-nari di atas takdirNya.
Bandung, di
awal semester baru.
0 comments