(Foto: dokumentasi pribadi)
Kami duduk bersisian di bibir pantai. Tak ada satupun kata
yang terucap diantara kami berdua. Semua tampak hening. Yang ada hanya suara
deburan ombak dan suara cicitan sekelompok burung pipit yang ingin kembali ke
sarangnya. Kami berdua larut dalam senja yang ingin kembali ke garis cakrawala.
“Kamu mau jadi
istriku ?” tanyanya memecah kesunyian di senja itu. Aku tercengang. Aku tidak
menjawabnya. Dengan wajah tak percaya, aku melihat matanya lekat-lekat. Aku
menarik napas panjang. Kualihkan pandanganku ke arah matahari yang mulai turun.
Dan aku masih tidak menjawabnya.
“Aku sudah kenal kamu sejak kecil dan kamu sudah kenal aku
sejak dulu. Aku rasa kita gak perlu proses pacaran untuk saling kenal lebih
dekat kan. Mau menikah denganku?” Aku tertegun mendengar ucapannya. Aku
berusaha untuk bernapas dengan normal, namun kenyataannya sulit. Aku sulit
bernapas.
“Maukah?” tanyanya lagi.
“Kenapa kamu menginginkanku untuk jadi istrimu ?”
“Aku juga gak ngerti, kenapa keyakinan itu ada di dalam
hati. Keyakinan kalau Tuhan telah menakdirkan kita untuk bertemu dan kamu itu
jodohku.”
“Kamu percaya jodoh ? kamu percaya pernikahan ?”
“Aku tau, mungkin kamu masih trauma dengan perceraian orang
tua kamu. Itu wajar sekali. Tapi kita gak bisa memilih untuk dilahirkan serta
dibesarkan di keluarga apa kan? kita hanya bisa memilih untuk menjadi orang tua
seperti apa nantinya.”
“Setiap orang menikah pasti percaya bahwa pasangan yang kita
nikahi adalah jodoh kita. Tapi terkadang di tengah perjalanan banyak yang
berpisah karena merasa tidak cocok, bukan jodoh, atau entahlah. Tapi aku ingin
mengarungi kehidupan bersama kamu. Aku gak bisa janji untuk menghadirkan
pernikahan yang sempurna nantinya, tapi aku janji kita akan terus belajar
bersama untuk saling memperbaiki di rumah tangga kita kelak.”
Mendengar ucapannya membuat kerongkonganku tercekat. Aku tak
bisa berkata apa-apa. Langit sudah memerah, begitu pula dengan mataku. Air mata
hangat meleleh pada sudut pipiku.
“Kamu adalah jodoh terbaik yang dikirimkan Tuhan untuk
menjadi ayah dari anak-anakku kelak. Anak-anak kita.” ucapku terbata-bata
sambil bercucuran air mata. Ia pun ikut terharu. Aku memandangi wajahnya
lekat-lekat. Aku melihat ketulusan di wajahnya, dari wajah teduh seorang
laki-laki yang kukenal sejak kecil. Yah dia akan menjadi calon imam untuk
keluargaku nanti.
“Sesampainya di Jakarta, aku akan datang ke keluargamu untuk
melamarmu. Dan setelah itu kita tentukan tanggal pernikahan yah.” Aku pun
menggangguk setuju. Dia menggenggam tanganku dengan lembut. Kala itu senja
begitu berbeda. Aku melihat matahari tenggelam di pelupuk matanya. Menyisakan binar
harapan yang ingin kurengkuh hanya bersamanya. Ah, terima kasih semesta.
Pada dia sahabatku, yang
tidak pernah kurencanakan untuk jatuh cinta; namun kubulatkan hati untuk
membangun cinta dengannya. Akan kupercayakan tanganku untuk terus digenggamnya
dalam mengarungi kehidupan selanjutnya. Bersamanya, selalu.
***
P.S : Jadi gini, ceritanya diminta untuk membuatkan cerpen oleh salah satu sahabat yang baru saja menikah. Ini udah
dibuatin yah teteh, maap aku belom ahli sama urusan cerpen-cerpenan euy :’) Selamat
menikah teteh dan mas-nya! semoga sakinah, mawaddah, warrahmah. What the lucky you
are to be married with your best friend :’)
4 comments
wah selamat yah semoga masnya sukses menjalani ujain hidupnya
ReplyDeleteSalaam angki,
DeleteAamiin! cc: mas-nya si teteh :D
Trims yaa udah blog walking ;)
Owh Please...
ReplyDeletepas pertanyaan Maukah engkau jadi istriku... boleh diajukan pada sang empunya web ini nggaaa??
Huwow ada kang reza nyangkut di blog eiyke hahaha plis atuhlah kang
Delete