Selama liburan
di rumah, saya menyempatkan diri untuk bertemu dengan beberapa sahabat yang baru saja menikah. Ini saya lakukan seperti penebus
dosa karena saya tidak dapat menghadiri pesta pernikahannya, maka walaupun
terlambat saya sempatkan untuk dapat bertukar cerita dengan mereka.
Bertemu dengan
para sahabat saya yang telah menikah ini, banyak munculkan perasaan di dalam
diri saya. Seperti perasaan bahagia dan sedih. Bahagia akhirnya sahabat saya
telah menemukan teman hidup yang akan mendampinginya di kala sedih dan senang. Sedih karena akhirnya dia duluan yang menemukan jodohnya dan saya ditinggalkannya seorang diri (yang ini fixed
abaikan :p).
Awalnya banyak
pertanyaan berkecamuk di dalam diri saya, “Bagaimana bisa 2 orang yang awalnya
tidak saling mengenal, saling berjanji menghabiskan seumur hidup bersama-sama ?
bagaimana bisa 2 orang yang awalnya asing, harus saling belajar untuk menjadi
bagian terpenting di dalam hidupnya masing-masing ? Seberapa kuatkah janji
pasangan kita itu bisa dipegang ? seberapa yakin dengan kadar cinta pasangan
kita? seberapa kuat keyakinan pada pasangan kita, bahwa dia tidak akan
berpaling kepada orang lain saat kita sudah tidak menarik lagi? cukupkah cinta
menjadi landasan sebuah pernikahan ? dan pertanyaan-pertanyaan klasik nan awam
lainnya. Sahabat saya pun dengan gusar berkata, “kalo lo mikir
kaya gitu terus, selamanya lo gak bakal nikah-nikah.” *enjleb
Bagi sahabat
saya yang tidak mau disebutkan namanya tapi saya yakin dia pasti membaca
postingan ini, penikahan merupakan momen titik balik bagi seseorang dengan
pasangan hidupnya. Segala perkenalan di awal seperti misalnya proses pacaran
sebenarnya kurang membantu dalam proses memahami pasangan di suatu mahligai
pernikahan. Karena selamanya, pernikahan merupakan proses untuk memahami. “Jadi
buat apa pacaran ?” -katanya-.
Masih
menurutnya, untuk masalah pertanyaan-pertanyaan klise yang saya lontarkan di
atas sebenarnya itu hanya sekelumit ketakutan saya terhadap masa depan. Yang
sebenarnya tidak perlu ditakuti secara berlebihan. Memang tidak ada yang bisa
memastikan bagaimana kehidupan nantinya. Pasangan kita, maupun diri kita
sendiri. Manusia hanya bisa berharap, berusaha, dan berdoa. Semuanya tergantung
pada apa yang pernikahan itu disandarkan. Apakah pada cinta yang kemungkinan
memiliki kadarluasa, apakah harta yang kemungkinan bisa habis, apakah pada
ketertarikan fisik yang kemungkinan akan menua, atau kepada Tuhan yang Maha
Membolak-balikkan hati.
Dari percakapan
dengan sahabat saya yang luar biasa ini, saya pun banyak mengambil pelajaran hidup
darinya. Hingga saya berada pada suatu kesimpulan bahwa cinta memang tidak
cukup dengan ketertarikan dengan lawan jenis saja. Tidak cukup hasrat
menggebu-gebu atau keinginan yang kuat untuk saling memiliki. Cinta membutuhkan
komitmen. Kita memiliki pilihan untuk mencintai, kita memiliki pilihan untuk
memilih teman hidup yang seperti apa, dan di setiap pilihan tersebut kita
memiliki tanggung jawab atasnya. Salah satunya adalah dengan pernikahan. Pernikahan
adalah bukti komitmen seseorang akan cintanya. Cintanya pada pasangannya,
keluarganya, dan pada Tuhannya.
Di ujung
pertemuan, sahabat saya berpesan;
“Jika
kelak ada laki-laki yang menurutmu tepat lalu memintamu pada wali-mu, tanyalah
pada Allah apakah ia benar-benar tepat untukmu. Jangan hanya bertanya pada hati;
yang lemah dan mudah terbolak-balik. Sandarkanlah segalanya hanya kepadaNya.
Sekiranya dia memang tepat untukmu, akan selalu ada jalan untuk kalian
dipersatukan. Tetapi bila tidak, akan selalu ada hikmah luar biasa yang
mengikutinya. ” Aamiin allahumma aamiin.
P.S : hatur
nuhun teteh uum sayang atas pertemuan luar biasanya *ups kesebut juga namanya ({})
7 comments
Hi Chia, salam kenal ya. To be honest, cerita ini yang sedang aku alamin juga. Kadang kita kangen sekali dengan momen-momen bersama teman. Namun, kenyataannya hidup menuntut untuk berubah. Tapi, bagaimanapun juga harus kita hadapi dan yakini bahwa sahabat kita tidak akan meninggalkan kita. :)
ReplyDeleteSalaam Afni,
DeleteYup bener banget, suka atau tidak perubahan harus dihadapi, kita dan sahabat kita pun memiliki jalan hidup masing-masing. Walaupun sudah jarang bertemu dan bertatap muka, namun doa akan selalu menyertai para sahabat, insyaAllah.
btw trims yah Afni sudah blog walking :D
Semoga dengan baca tulisan ini, gue nggak salah lagi dengan cinta :)
ReplyDeleteSalaam fikri,
DeleteWaduh sering salah dlm urusan cinta yah? =))
Kalo menurut saya, salah itu manusiawi. Yg paling penting kita belajar banyak setelahnya :D #MamahDedehQuote
Semoga saya bisa berkomitmen sampai nikah :D
Delete--> “Jika kelak ada laki-laki yang menurutmu tepat lalu memintamu pada wali-mu, tanyalah pada Allah apakah ia benar-benar tepat untukmu. Jangan hanya bertanya pada hati; yang lemah dan mudah terbolak-balik. Sandarkanlah segalanya hanya kepadaNya. Sekiranya dia memang tepat untukmu, akan selalu ada jalan untuk kalian dipersatukan. Tetapi bila tidak, akan selalu ada hikmah luar biasa yang mengikutinya. ” Aamiin allahumma aamiin." sangat setuju kak dengan kaat2 ini.
ReplyDeleteSalaam lapak medan,
DeleteYap, bener banget!
Terima kasih sdh blog walking :D